Pertempuran Laut Filipina
Pertempuran Kalibata (1946)
Pertempuran Kalibata terjadi di Jakarta, di sekitar kawasan Kalibata. Pertempuran ini melibatkan pertempuran sengit antara pasukan Indonesia dan Belanda yang ingin menguasai kembali wilayah tersebut setelah proklamasi kemerdekaan. Pertempuran ini menegaskan keteguhan dan keberanian pasukan Indonesia dalam mempertahankan wilayah ibu kota.
Pertempuran Pasuruan (1947)
Pertempuran Pasuruan di Jawa Timur terjadi saat Belanda melakukan agresi untuk menguasai wilayah tersebut. Pertempuran ini menandai perjuangan keras rakyat Pasuruan dalam menghadapi upaya kolonialis.
Battle of Warships: Online
Battle of Warships: Online adalah game bertema kapal perang yang menampilkan pertempuran seru dengan teknologi canggih di tengah lautan. Dalam game ini, kamu bisa mengendalikan berbagai kapal perang legendaris dari era Perang Dunia I dan II. Tak hanya itu, kamu juga dapat meningkatkan mesin kapal untuk mengoptimalkan performa dan mengalahkan musuh.
Game ini menghadirkan lebih dari 20 kapal perang unik dengan grafis 3D realistis yang memukau. Pemain juga dapat menggunakan berbagai senjata mematikan, seperti torpedo, misil, dan masih banyak lagi, untuk mendominasi pertempuran.
Pertempuran Cikapundung (1946)
Pertempuran Cikapundung adalah salah satu pertempuran awal dalam perjuangan kemerdekaan yang berlangsung di Bandung, Jawa Barat. Pertempuran ini menjadi simbol perlawanan rakyat Bandung terhadap upaya kolonial untuk merebut kembali wilayah yang telah dimerdekakan.
Pertempuran Jatiwangi (1946)
Pertempuran Jatiwangi terjadi di kawasan Jatiwangi, Jawa Barat. Pertempuran ini merupakan bagian dari perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan terhadap upaya penguasaan kembali oleh Belanda. Keberanian para pejuang dalam pertempuran ini sangat berpengaruh dalam perjuangan kemerdekaan di Jawa Barat.
Pertempuran Banten (1946)
Pertempuran Banten di Jawa Barat melibatkan pasukan Indonesia dan Belanda. Pertempuran ini menyoroti ketahanan rakyat Banten dalam mempertahankan kemerdekaan mereka dari penjajah Belanda.
KOMPAS.com - Pertempuran Biak merupakan peperangan antara Angkatan Darat Amerika Serikat (AS) dan tentara Kekaisaran Jepang yang berlangsung di Biak, Papua.
Perang yang berlangsung sejak 27 Mei hingga 20 Juni 1944 ini adalah bagian dari kampanye Niugini semasa Perang Dunia II.
Perang Biak adalah bagian dari upaya pembersihan Jenderal Douglas MacArthur atas Papua dari kekuatan Jepang.
Pertempuran ini dimenangkan oleh Sekutu, yang kemudian menggunakan Pulau Biak untuk mendukung operasi di beberapa wilayah di Pasifik.
Baca juga: L Rumkorem, Pemimpin Perlawanan terhadap Jepang di Biak
Pulau Biak terletak di utara Provinsi Papua, berdekatan dengan Sarmi, di mana Jepang telah memusatkan basis pasokan dan lapangan terbangnya.
Pada 1944, lokasinya dinilai sangat cocok untuk pembangunan lapangan terbang. Sehingga, pihak Sekutu, yang mulai bergerak ke Filipina, berencana merebut pulau ini dari Jepang.
Sekutu memperkirakan ada sekitar 2.000 tentara Jepang yang ditugaskan menjaga Pulau Biak.
Padahal, saat itu, Pulau Biak dikuasai oleh 11.400 tentara Jepang di bawah komando Kolonel Kuzume Naoyuki.
Kolonel Kuzume, yang telah mengetahui kedatangan pasukan Sekutu, memakai strategi tipuan.
Ia akan membiarkan tentara Sekutu mendarat di Biak tanpa hambatan, supaya mereka jatuh ke perangkap yang telah disiapkan.
Baca juga: Pertempuran Morotai: Latar Belakang, Kronologi, dan Akhir
Perangkap yang dimaksud adalah gua-gua yang terletak di sebelah barat Mokmer dan di sebelah timur Bosnek.
Jepang menjadikan gua-gua tersebut sebagai kotak-kotak pertahanan yang dipenuhi dengan penembak, senjata otomatis, artileri, baterai mortir, dan satu kompi tank.
Dalam perkembangannya, mata-mata Sekutu akhirnya meralat informasi sebelumnya dan mengabarkan bahwa jumlah tentara Jepang di Biak diperkirakan mencapai 10.800 orang.
Tentara Sekutu, yang berkumpul di daerah Teluk Humboldt, diberangkatkan pada 25 Mei 1944. Mereka dilindungi oleh pasukan angkatan udara dan angkatan laut.
Setelah serangan udara dilakukan selama 45 menit, Angkatan Darat AS berhasil mendarat di Biak pada 27 Mei 1944.
Pasukan yang pertama datang adalah Resimen Infanteri ke-162, yang kemudian disusul oleh divisi lainnya, termasuk Resimen Infanteri 163 dan 186.
Baca juga: Pertempuran Teluk Milne: Latar Belakang, Kronologi, dan Akhir
Pada sore hari, sebanyak 12.000 tentara Sekutu sudah mendarat dengan 12 tank M4 Sherman, 29 meriam lapangan, 500 kendaraan dan 3.000 ton perbekalan.
Jepang sempat memberi serangan kecil terhadap pangkalan AS, tetapi bom yang dijatuhkan gagal meledak.
Sekutu lantas menembak balik Jepang, yang menghancurkan tiga pesawat dan satu rusak parah.
Setelah itu, Sekutu bergerak masuk ke pedalaman, dan masuk dalam perangkap Jepang. Mengetahui hal itu, pasukan yang terjebak segera dibebaskan dan diperintahkan untuk mundur.
Pada 5 Juni, Sekutu bergerak menuju Mokmer dan berhasil menguasainya secara penuh setelah meladeni perlawanan Jepang yang berlangsung sekitar satu minggu.
Di saat yang sama, bantuan pasukan Jepang dari berbagai wilayah di sekitarnya segera dikerahkan untuk memperkuat Biak.
Baca juga: Pertempuran Rabaul: Latar Belakang, Kronologi, dan Akhir
Namun, beberapa gelombang bantuan yang disusun Jepang terus dikacaukan oleh Sekutu, sehingga banyak yang tidak sampai di Biak.
Setelah menghadapi serangan bertubi-tubi dari Sekutu, pada 20 Juni 1944, Kolonel Kuzume menegaskan kepada anak buahnya bahwa upaya mempertahankan Biak akan menjadi pertempuran terakhir mereka.
Kolonel Kuzume kemudian melakukan hara-kiri (ritual bunuh diri Samurai di Jepang), menunjukkan kepada anak buahnya bahwa ia tidak takut mati.
Pada 22 Juni, AS telah berhasil menerobos pertahanan Jepang dan merebut sebagian besar wilayah Biak.
Kendati demikian, terdapat 3.000 sisa pasukan Jepang yang terus melancarkan perlawanan hingga Agustus.
Baca juga: Pertempuran Selat Badung: Latar Belakang, Kronologi, dan Dampak
Pertempuran Biak dimenangkan oleh pihak Sekutu, yang menewaskan 4.700 pasukan Jepang dan 200 lainnya ditangkap.
Selain itu, sekitar 3.000 tentara Jepang lainnya yang menolak untuk menyerah, banyak yang menghadapi kematian akibat penyakit dan kelaparan di bulan-bulan berikutnya.
Sementara di pihak Sekutu, ada 438 pasukan tewas dan 2.361 terluka.
Setelah memenangkan pertempuran, Sekutu membebaskan sekitar 600 pekerja paksa India dan Jawa dari tahanan Jepang.
Sekutu kemudian mengembangkan Biak menjadi basis logistik dan membangun beberapa lapangan terbang di daerah tersebut.
KOMPAS.com - Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi sejak 1945 hingga 1949, yang menjadi puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun sudah resmi merdeka sejak 17 Agustus 1945, masih banyak pihak yang belum bisa menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan Sekutu.
Akibatnya, pertempuran pun terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban mencapai ribuan jiwa.
Baca juga: Dampak Negatif Konferensi Meja Bundar
Latar belakang terjadinya perang kemerdekaan Indonesia adalah keinginan Belanda dan Sekutu untuk kembali menguasai Nusantara.
Satu bulan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya tanggal 29 September 1945, Sekutu datang.
Sekutu yang dalam hal ini adalah Inggris, sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk melihat kondisi di Indonesia setelah kependudukan Jepang pada 1942 silam.
Rupanya, saat itu, Sekutu datang dengan diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Adminstration), yaitu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Inggris yang ditugaskan ke Indonesia ternyata diam-dian sudah mengadakan perjanjian rahasia bersama Belanda yang disebut Civil Affair Agreement pada 24 Agustus 1945 silam.
Isi Civil Affair Agreement adalah tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Sekutu mendarat pertama kali di Tanjung Priok, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan baik.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sekutu datang dengan diboncengi NICA yang secara gamblang ingin kembali menegakkan kekuasaan di Indonesia, maka reaksi pihak Indonesia terhadap Sekutu berubah.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di berbagai daerah di Indonesia.
Suasana sekitar saat Pertempuran Ambarawa terjadi
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 Oktober 1945, ketika Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Bethel mendarat di Semarang.
Setelah itu, pasukan Sekutu yang sedang berjalan menuju ke Magelang pun membuat kerusuhan.
Awalnya, Bethel diperkenankan untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Dia juga diizinkan mengevakuasi 19.000 interniran Sekutu yang ada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Akan tetapi, ternyata pasukan Sekutu membelot dengan mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden pun pecah di Magelang, yang kemudian berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris.
Orange Hotel di Surabaya, lokasi perobekan bendera Belanda ketika Pertempuran Surabaya.
Puncak pertempuran terjadi pada 20 November 1945, di Ambarawa antara pasukan TKR yang dipimin Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris.
Aksi tembak-menembak dan pengeboman terus terjadi selama berhari-hari.
Kendati begitu, pada akhirnya pasukan TKR berhasil meluluhlantakkan pasukan Inggris pada 12 Desember 1945.
Pada akhirnya, pasukan Inggris yang sudah sangat terdesak bersedia meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang pada 15 Desember 1945.
Baca juga: Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir
Tentara Inggris tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung-gedung pemerintahan di Surabaya yang dijaga oleh rakyat dan para pemuda Indonesia.
Lebih lanjut, pada 29 Oktober 1945, atas permintaan Letjen Christison, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Pertemuan keduanya pun menghasilkan terjadinya gencatan senjata.
Akan tetapi, pada 31 Oktober 1945, tersiar kabar tentang hilangnya Brigjen Mallaby yang ternyata tewas terbunuh.
Sebagai tindak lanjut dari kabar tersebut, pihak Inggris, Mayir Jenderal Manserg, memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya pada 9 November 1945.
Namun, hingga tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi WIB, tidak ada seorang pun dari bangsa Indonesia yang menyerahkan diri.
Akibatnya, pertempuran pun pecah. Para pejuang Indonesia berusaha melawan Sekutu menggunakan senjata tradisional bambu runcing.
Setelah tiga pekan, pertempuran Surabaya pun mulai mereda pada 28 November 1945.
Pertempuran ini telah memakan korban jiwa dari pihak Indonesia sebanyak 20.000 orang, sedangkan dari pihak Sekutu sebanyak 1.500 orang.
Baca juga: Mohammad Toha, Tokoh Penting Peristiwa Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 13 Oktober 1945, ketika pasukan Sekutu tiba di Kota Bandung dengan diboncengi oleh NICA.
Setibanya di Bandung, pasukan Sekutu langsung menguasai kota dengan alasan melucuti dan menawan tentara Jepang.
Kemudian, pada 27 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat Bandung segera meninggalkan area Bandung Utara, tetapi ultimatum itu tidak dihiraukan.
Sekutu yang mulai terdesak pun kembali mengeluarkan ultimatum kedua agar selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946 pukul 24.00, pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung sejauh 11 kilometer.
Ultimatum ini lantas mendongkrak semangat perlawanan para pejuang Indonesia.
Pasukan Indonesia membuat strategi dengan merancang operasi bernama Bumi Hangus.
Begitu penduduk meninggalkan Bandung, operasi Bumi Hangus langsung dijalankan dengan membakar bangunan rumah atau gedung di Bandung.
Prasasti yang menjadi bukti terjadinya Pertempuran Medan Area
Dalam sekejap, Kota Bandung sudah diselimuti oleh asap gelap dan pemadaman listrik.
Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh tentara Indonesia untuk menyerang Sekutu secara bergerilya.
Baca juga: Pertempuran Medan Area: Latar Belakang, Konflik, dan Dampak
Pertempuran Medan Area terjadi tanggal 13 Oktober 1945 hingga April 1946, setelah tentara Sekutu yang dipimpin oleh TED Kelly mendarat di Medan.
Kedatangan Sekutu dan NICA ini memancing kemarahan warga Indonesia.
Terlebih, ketika salah satu anggota NICA disebut merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang digunakan oleh seorang pemuda Indonesia.
Menindaklanjuti hal ini, pada 13 Oktober 1945, barisan pemuda dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempur melawan Sekutu dan NICA.
Inggris kemudian mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia untuk segera menyerahkan senjata kepada Sekutu, tetapi lagi-lagi ultimatum itu tidak diindahkan.
Puncak pertempuran terjadi tanggal 10 Desember 1945, di mana Sekutu dan NICA menyerang Kota Medan secara habis-habisan.
Bulan April 1946, Sekutu sudah berhasil menguasai Kota Medan.
Baca juga: Kronologi Agresi Militer Belanda I
Setelah proklamasi kemerdekaan berlangsung, Indonesia masih dihantui oleh Belanda.
Belanda terus berusaha merebut kembali kemerdekaan dengan melakukan sejumlah serangan, salah satunya Agresi Militer Belanda I.
Agresi Militer Belanda I terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947, yang dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook.
Tujuan Agresi Militer Belanda I adalah membangkitkan perekonomian Belanda dengan cara menguasai kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Target utama Belanda ialah Sumatera dan Jawa untuk menguasai sumber daya alam di sana.
Di Pulau Jawa, Belanda menyerang Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Indonesia mengirim pasukan Siliwangi untuk melawan tentara Belanda.
Salah satu strategi yang digunakan oleh pasukan Siliwangi adalah melakukan serangan gerilya pada sektor-sektor penting, seperti jalan-jalan penghubung, jalur logistik, dan pos Belanda.
Pada praktiknya, serangan gerilya pasukan Siliwangi di Jawa Barat berhasil mengalahkan usaha perkebunan yang menjadi sektor ekonomi penting bagi Belanda.
Agresi Militer Belanda I berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1947.
Baca juga: Mengapa Perjanjian Renville Merugikan Indonesia?
Belanda mengingkari perjanjian Renville dengan melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, di Yogyakarta.
Pada Minggu pagi 19 Desember 1948, Belanda mulai menyerang Kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota sementara Indonesia.
Belanda melakukan serangan udara mendadak yang membuat pasukan Indonesia kewalahan.
Hanya dalam waktu beberapa jam, sore hari pada tanggal yang sama, Yogyakarta sudah berhasil diambil alih oleh Belanda.
Setelah mendengar serangan mendadak tersebut, Panglima TNI Jenderal Sudirman memberikan perintah kilat melalui radio yang bertujuan untuk melawan musuh dengan cara perang rakyat semesta.
Maksudnya, para pasukan akan hijrah dengan cara long march ke wilayahnya masing-masing dan membentuk kekuatan.
Setelah kekuatan terbentuk, pertempuran dimulai antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda.
Agresi Militer Belanda II telah banyak memakan korban jiwa dan kerusakan besar bagi pihak Indonesia.
Saking besarnya, aksi penyerangan ini sampai terdengar ke kancah internasional, termasuk Amerika Serikat (AS).
Akibatnya, AS memutuskan untuk menghentikan bantuan dana kepada Belanda. AS dan PBB juga mendesak agar Belanda segera melakukan gencatan senjata dan menggelar perundingan damai.
Akhirnya, pada 7 Mei 1949, Agresi Militer Belanda II berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Roem-Royen.
Baca juga: Hasil Konferensi Meja Bundar yang Tidak Dapat Direalisasikan Belanda
Akhir perang kemerdekaan Indonesia adalah penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Sebelum penyerahan itu tercapai, Indonesia dan Belanda lebih dulu berunding dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus hingga 2 November 1949.
KMB dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta.
Pada akhirnya, tanggal 2 November 1949, Indonesia dan Belanda berhasil mencapai kesepakatan dengan menandatangani persetujuan KMB.
Salah satu isi KMB adalah Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada RI pada Desember 1949, tepatnya tanggal 27 Desember.
UNTUK pertama kali sejak dua dekade, Prabowo Subianto bisa masuk kembali Amerika Serikat (AS). Sejak tahun 2000, Prabowo kena “cekal” masuk Amerika.
Larangan itu sekonyong-konyong dicabut pemerintah AS selepas Prabowo dilantik jadi menhan pada Oktober 2019. Dalam kapasitasnya sebagai menteri pertahanan (menhan) inilah ia bersua koleganya, Menhan AS Mark Esper di Pentagon (markas Kemenhan Amerika), Arlington County, Virginia, 16 Oktober 2020 guna membahas tiga hal.
Menukil laman resmi kemenhan AS pada 16 Oktober 2020, tiga hal yang dibicarakan Esper dengan Prabowo yakni: dukungan modernisasi alutsista Indonesia, niat kerjasama keamanan maritim, dan kesediaan Indonesia membuka akses untuk mencari para kombatan Amerika yang masih hilang dari masa Perang Dunia II.
“Menhan Esper dan Menhan Prabowo menandatangani Memorandum of Intent (semacam kesepakatan menuju perjanjian penuh, red.) mempercepat upaya Defense Prisoner of War/Missing in Action Accounting Agency (DPAA/Dinas Tawanan Perang dan Prajurit yang Hilang) memulai kembali tugasnya di Indonesia untuk mencari sisa-sisa personel Amerika yang hilang di Indonesia selama Perang Dunia II,” ungkap Kemenhan AS.
Sejak 1942, wilayah Indonesia jadi salah satu panggung terpenting dalam Perang Dunia II di front Pasifik antara Sekutu dan Jepang. Baik di darat, laut, maupun udara, pasukan Amerika terlibat dalam sejumlah pertempuran, mulai dari Laut Jawa, Laut Makassar, hingga Papua.
Satu contoh terpenting adalah para awak kapal penjelajah berat USS Houston (CA-30). Setelah kapal itu karam oleh torpedo Jepang dalam Pertempuran Selat Sunda (28 Februari-1 Maret 1942), sekira 696 krunya masih hilang di dasar laut. Upaya untuk mengenang mereka sempat dilakukan dua kali oleh Angkatan Laut (AL) Amerika lewat upacara larung bunga di Selat Sunda pada Juni 2014 dan Maret 2019.
“Kami senang dan merasa terhormat bisa mengenang mereka. Sampai sekarang banyak pahlawan perang Amerika yang hilang di sana,” tutur komandan kapal penyapu ranjau Amerika USS Chief (MCM-14) Mayor Laut Frederick Crayton saat hadir dalam diskusi bertajuk Defense of Java and the Dutch East Indies: World War II di @America, Jakarta, 26 Februari 2019.
Di wilayah Indonesia timur, sejak 1944 pasukan Amerika sudah berada dalam posisi ofensif. Mereka terus mendesak pertahanan-pertahanan Jepang di pulau-pulau sekitar Papua. Salah satunya di Pulau Biak.
Dalam situs resmi DPAA, per 16 Oktober 2020, total kombatan Amerika yang masih dinyatakan hilang (Missing in Action/ MIA) dalam Perang Dunia II mencapai 72.559 orang. Lebih dari setengahnya, 47.163, hilang di beragam front Pasifik. Di Pertempuran Pulau Biak, 13 personil AS tercatat masih MIA.
Pertempuran Pulau Biak (27 Mei-17 Agustus 1944) merupakan satu dari rangkaian pertempuran dalam kampanye Sekutu di Papua Barat yang dikomando Jenderal Douglas MacArthur. Kampanye ofensif itu dimulai dengan pendaratan di Aitape dan Hollandia (kini Jayapura) pada 22 April, lalu dilanjutkan dengan Pertempuran Bukit Pohon Tunggal (Wakde-Sarmi) pada 17 Mei, dan Pertempuran Pulau Wakde pada 18 Mei sebelum Sekutu loncat ke Pulau Biak.
Nyaris tak ada hal yang diketahui Kolonel Harold Riegelman tentang Pulau Biak. Perwira unit kimia dari Corps I Angkatan Darat (AD) Amerika itu ditugaskan ke Pulau Biak pada pertengahan Juni 1944. Ia harus mengevaluasi mengapa manuver ofensif dua divisi AD Amerika yang diturunkan hampir sebulan lalu tak jua mencapai tujuan strategisnya: membangun lapangan terbang guna menyokong kampanye ofensif ke Kepulauan Mariana.
“Yang saya tahu tentang Biak hanyalah ia sebuah pulau satu derajat ke selatan dari garis Khatulistiwa, salah satu pulau Gugusan Schouten (kini Kepulauan Biak) yang terletak di utara Teluk Geelvink (Teluk Cendrawasih) yang menghadap ke arah ujung barat Papua,” tulisnya dalam Caves of Biak: An American Officer’s Experiences in the Southwest Pacific.
Dari serangkaian pertempuran dalam Kampanye Papua Barat, Biak jadi satu dari sedikit sasaran yang akan direbut sepenuhnya oleh serdadu Amerika. Penyerbuan Biak tak seperti pertempuran-pertempuran lain yang turut mengikutsertakan pasukan Australia dan Selandia Baru. Dalam Pertempuran Biak, Australia sekadar membantu sokongan bombardir lewat kapal-kapalnya, seperti kapal penjelajah HMAS Australia, HMAS Shropshire, atau kapal perusak HMAS Warramunga.
Jenderal McArthur, panglima Sekutu di Pasifik, menyerahkan tanggungjawab ofensif ke Biak ke pundak Panglima AD ke-6 Amerika Letjen Walter Krueger. Krueger lantas mengandalkan Komandan Korps I Letjen Robert Lawrence Eichelberger, atasan Riegelman, untuk merancang skema ofensif di lapangan.
Jenderal MacArthur berharap operasi di Biak bisa rampung dalam kurun satu minggu. Tingginya kepercayaan diri MacArthur tak lepas dari laporan intelijen Sekutu yang menguraikan Biak hanya dipertahankan oleh sekira dua ribu serdadu Jepang. Dari laporan intelijen di darat dan pengintaian udara, disebutkan dua ribu personil Jepang itu hanya dipimpin kolonel AD Kozume Naoyuki dan Laksamana AL Sadatoshi Senda.
Namun, menurut sejarawan militer Laksamana Samuel Eliot Morison, ada yang tak diketahui MacArthur dan stafnya. Jepang, kata Morison dalam New Guinea and the Marianas: March 1944-August 1944, ternyata masih bisa mengirim ribuan pasukan bantuan dari Mindanao, Filipina ke Biak lewat Operasi KON yang dipimpin Laksamana Naomasa Sakonju.
“Yang terlupakan oleh Sekutu saat mendarat di Biak pada 27 Mei adalah, hari itu menjadi perayaan ke-39 Pertempuran Tsushima. Peristiwa yang sangat dipuja AL Jepang. Saat Sekutu sudah mendarat di Biak pada 27 Mei, AL Jepang bereaksi ikut mempertahankan dengan niat menyambung kejayaan di Tsushima,” tulis Morrison.
Sesuai skema yang dibuat, pasca-bombardir pembuka dari laut, pasukan Sekutu mendarat di Biak pada 27 Mei 1944 di empat titik pendaratan Pantai Bosnek. Pasukan itu berkekuatan 12 ribu prajurit Divisi Infantri ke-41 AD yang merupakan pasukan baru gabungan dari garda nasional negara bagian Oregon, Montana, Washington, dan Idaho.
Pasukan pendarat itu diikuti 12 tank medium M4 Sherman. Mereka tak menemui perlawanan berarti saat mendarat. Beberapa hari setelah pendaratan, para perwira Amerika baru insyaf bahwa jumlah pasukan Jepang jauh lebih banyak dari informasi awal yang mereka terima.
Baca juga: Orang Indonesia di Palagan Pasifik
Perlawanan alot baru ditemui pasukan Amerika kala mencapai Lapangan Terbang Mokmer (kini Bandara Frans Kaisiepo), 10 hari setelah pendaratan. Selain kekuatan pasukan Jepang (11 ribu) ternyata lima kali lipat lebih besar dari laporan awal intelijen (dua ribu), para serdadu Jepang dengan pandai menyembunyikan posisi mereka di dalam gua-gua yang mengarah ke lapangan terbang. Belum lagi tambahan ribuan pasukan bantuan yang datang sejak 31 Mei.
“Rencana Operasi KON adalah mengantar 2.500 pasukan tambahan dari Brigade Amfibi ke-2 dari Mindanao ke Biak dengan kapal-kapal pendaratan. Laksamana Naomasa Sakonju juga mengirim kapal penjelajah Kinu, Myoko, dan Haguro; kapal perusak Shikinami, Uranami, dan Shigure; serta kapal tempur Fuso yang berangkat dari Zamboanga pada 31 Mei dan tiba di Biak pada 3 Juni,” sambung Morrison.
Pasukan Jepang, terutama 1.200 serdadu Resimen Infantri ke-222 di bawah Kolonel Kuzume, amat pandai memanfaatkan bentang alam. Unit-unit mortir dan meriamnya dengan baik menyamarkan diri di jaringan-jaringan gua di barat dan timur Pulau Biak. Merekalah yang membuat pasukan lawan berdarah-darah sehingga pertempuran berjalan alot.
“Kuzume paham bahwa selama dia bisa ulet mempertahankan lembah dan bukit di utara Mokmer, dia bisa mencegah Hurricane Task Force (semacam pasukan zeni Amerika) untuk memperbaiki dan menggunakan lapangan terbang Borokoe dan Sorido. Ia tempatkan pasukan gabungan resimennya dan tentara AL Jepang di Kantung Ibdi dan rangkaian gua di timur pulau,” singkap Robert Ross Smith dalam The War in the Pacific: The Approach to the Philippines.
Setelah 10 hari pertempuran tetap berjalan alot alias lewat dari target awal seminggu yang diberikan, MacArthur pun tak puas. Ia memerintahkan Jenderal Krueger mengganti Fuller. Atas rekomendasi Eichelberger, Divisi ke-42 berganti pimpinan ke pundak Brigjen Jens Anderson Doe yang sebelumnya komandan Resimen Infantri ke-136 Divisi ke-42.
Jenderal Doe segera merancang ofensif yang lebih agresif untuk menyisir setiap jaringan terowongan dan gua-gua di pedalaman Biak. Dia mengandalkan apa saja yang bisa digunakan, mulai dari pelontar api (flame thrower), granat, hingga bensin untuk menyulut api hingga ke perut gua. Efek ledakan granat yang dihimpun dalam sebuah tas bisa lebih mengerikan daripada bensin dan pelontar api.
“Setelah sebuah gua meledak, seorang prajurit masuk untuk melihat dampaknya. Beberapa menit dia keluar dengan mengalami pusing dan muntah-muntah. ‘Ya Tuhan, pemandangan (di dalam) sudah seperti neraka. Potongan-potongan tubuh memenuhi dasar gua! Perut-perutnya menganga mengeluarkan isi-isi perutnya. Darah mengalir dari telinga, hidung, mulut, dan mata para jasad tentara Jepang. Sungguh menjijikkan!’” tulis Howard Oleck dalam Eye-Witness World War II Battles.
Pada 20 Juni, pasukan Amerika sudah bisa maju dan merebut landasan terbang Borokoe dan Sorido. Saat itu masih tersisa seribu pasukan Jepang yang bertahan di kubu terakhir dalam gua-gua di timur pulau. Beberapa dari mereka yang mulai putus asa lalu melancarkan serangan bunuh diri.
“Suatu malam sekitar 200 tentara Jepang menyerang yang kemudian semuanya tumbang dengan senapan mesin. Seorang prajurit Amerika mengenang: ‘Itu seperti eksekusi massal. Bunuh diri massal dari pasukan yang memang ingin mati,’” tambah Oleck.
Untuk mematahkan pertahanan Jepang yang keuletan, pasukan Amerika mempertimbangkan penggunaan senjata kimia, terutama senjata gas beracun yang dirampas dari gua-gua yang ditinggalkan pasukan Jepang. Riegelman mengisahkan soal itu dalam bukunya.
“Bagaimana, perwira kimia, apa yang Anda dapatkan dari gua-gua itu?” tanya sang perwira senior.
“Kami mendapat banyak gas yang tak digunakan oleh Jepang, Pak,” jawabnya.
“Berapa banyak yang Anda dapatkan?”
“Kami mengambil dengan jumlah banyak yang kebanyakan asap beracun.”
“Apakah bisa gas itu dipakai untuk melawan Jepang, walau beberapa staf saya tak setuju?”
“Pak, menurut saya staf Anda benar dan saya yakin Anda akan dibebastugaskan dalam 24 jam setelah Anda menggunakan gas. Walau pada akhirnya kita akan kehilangan lebih banyak waktu dan korban jika tak memakai gas,” jelas Riegelman.
Pertimbangan memakai senjata kimia itu akhirnya tak lagi dijadikan isu. “Saya tak pernah menyangka akan mendapati suatu hari di mana saya harus menentang penggunaan gas terhadap Jepang, terutama senjata gas mereka sendiri. Tetapi saya pikir itu adalah tindakan yang benar,” kenang Riegelman.
Lebih dari 700 personil Jepang yang tersisa tetap melakukan perlawanan sengit dengan mengandalkan alam. Sikap itu membuat banyak perwira Amerika kagum pada keteguhan hati dan keuletan strategi para personil pertahanan yang dipimpin Kolonel Kuzume.
“Menyadari posisinya yang tanpa harapan, perwira yang berani ini (Kolonel Kuzume) mampu membangkitkan semangat resimennya (Resimen Infantri ke-222). Entah kemudian dia bunuh diri atau tewas dalam pertempuran, namun kematiannya menandakan berakhirnya pertahanan efektif dan ulet pasukannya,” tandas Morison.
Baca juga: Sepakterjang Batalyon Amerika yang Hilang
Seluruh Pulau Biak akhirnya bisa direbut pasukan Amerika pada 17 Agustus 1944. Namun, tujuan strategis MacArthur untuk bisa menggunakan Biak sebagai basis sokongan udara guna kampanye di Kepulauan Mariana tak tercapai. Lapangan-lapangan udara di Biak baru bisa digunakan pada September 1944 untuk menyokong ofensif via udara ke Kepulauan Palau dan Mindanao.
Dalam 52 hari Pertempuran Pulau Biak, pihak Jepang kehilangan 4.700 prajuritnya dan 200 lainnya tertawan. Sisa pasukannya yang terluka sampai sekarang belum diketahui. Sementara, Amerika meski 438 prajuritnya tewas, namun lebih dari dua ribu serdadunya terluka. Sekira 14 personelnya hingga sekarang statusnya masih MIA alias hilang tanpa teridentifikasi.
KOMPAS.com - Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi sejak 1945 hingga 1949, yang menjadi puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun sudah resmi merdeka sejak 17 Agustus 1945, masih banyak pihak yang belum bisa menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan Sekutu.
Akibatnya, pertempuran pun terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban mencapai ribuan jiwa.
Baca juga: Dampak Negatif Konferensi Meja Bundar
Latar belakang terjadinya perang kemerdekaan Indonesia adalah keinginan Belanda dan Sekutu untuk kembali menguasai Nusantara.
Satu bulan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya tanggal 29 September 1945, Sekutu datang.
Sekutu yang dalam hal ini adalah Inggris, sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk melihat kondisi di Indonesia setelah kependudukan Jepang pada 1942 silam.
Rupanya, saat itu, Sekutu datang dengan diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Adminstration), yaitu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Inggris yang ditugaskan ke Indonesia ternyata diam-dian sudah mengadakan perjanjian rahasia bersama Belanda yang disebut Civil Affair Agreement pada 24 Agustus 1945 silam.
Isi Civil Affair Agreement adalah tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Sekutu mendarat pertama kali di Tanjung Priok, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan baik.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sekutu datang dengan diboncengi NICA yang secara gamblang ingin kembali menegakkan kekuasaan di Indonesia, maka reaksi pihak Indonesia terhadap Sekutu berubah.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di berbagai daerah di Indonesia.
Suasana sekitar saat Pertempuran Ambarawa terjadi
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 Oktober 1945, ketika Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Bethel mendarat di Semarang.
Setelah itu, pasukan Sekutu yang sedang berjalan menuju ke Magelang pun membuat kerusuhan.
Awalnya, Bethel diperkenankan untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Dia juga diizinkan mengevakuasi 19.000 interniran Sekutu yang ada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Akan tetapi, ternyata pasukan Sekutu membelot dengan mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden pun pecah di Magelang, yang kemudian berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris.
Orange Hotel di Surabaya, lokasi perobekan bendera Belanda ketika Pertempuran Surabaya.
Puncak pertempuran terjadi pada 20 November 1945, di Ambarawa antara pasukan TKR yang dipimin Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris.
Aksi tembak-menembak dan pengeboman terus terjadi selama berhari-hari.
Kendati begitu, pada akhirnya pasukan TKR berhasil meluluhlantakkan pasukan Inggris pada 12 Desember 1945.
Pada akhirnya, pasukan Inggris yang sudah sangat terdesak bersedia meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang pada 15 Desember 1945.
Baca juga: Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir
Tentara Inggris tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung-gedung pemerintahan di Surabaya yang dijaga oleh rakyat dan para pemuda Indonesia.
Lebih lanjut, pada 29 Oktober 1945, atas permintaan Letjen Christison, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Indogamers.com - Bagi pecinta game perang, game android bertema kapal perang memang seru banget buat dmainkan.
Dalam game android bertema kapal perang ini, pemain akan dihadapkan pada pertempuran di lautan dengan kapal perang berteknologi canggih.
Berikut adalah 3 rekomendasi game android bertema kapal perang yang menawarkan sensasi unik dengan mekanik pertempuran yang seru.
Baca Juga: Lirik Lagu Game Never Over, Theme Song Resmi M6 MLBB 2024
Pertempuran Bandung Lautan Api (23-24 Maret 1946)
Pertempuran Bandung Lautan Api terjadi ketika pasukan Sekutu yang dibantu oleh Belanda mencoba mengambil alih Bandung. Untuk mencegah kota tersebut jatuh ke tangan musuh, para pejuang dan warga Bandung terpaksa membakar kota mereka sendiri. Pertempuran ini menggambarkan pengorbanan besar yang dilakukan demi kemerdekaan.
Pertempuran Padang (1946)
Pertempuran Padang, yang terjadi di kota Padang, Sumatera Barat, merupakan bagian dari upaya Belanda untuk menguasai wilayah Sumatera. Pertempuran ini menggambarkan keteguhan dan keberanian pasukan Indonesia dalam melawan invasi Belanda.
Pertempuran Sinjai (1946)
Pertempuran Sinjai terjadi di Sulawesi Selatan, di mana pasukan Indonesia berjuang melawan Belanda. Pertempuran ini menunjukkan pentingnya perjuangan kemerdekaan di wilayah timur Indonesia.
Pertempuran Malang (1947)
Pertempuran Malang berlangsung di Malang, Jawa Timur, antara pasukan Indonesia dan Belanda. Pertempuran ini merupakan bagian dari Agresi Militer Belanda II. Pertempuran ini menyoroti upaya Belanda untuk memperluas pengaruhnya di Jawa Timur dan perlawanan keras dari pasukan Indonesia.